Apakah Kualitas Udara di dalam ruangan berpengaruh terhadap kesehatan manusia di dalamnya ?
Berbagai
keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada di dalam gedung dan
kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung, besar kemungkinan karena
menderita “sick building syndrome”
(SBS) atau “sindrom gedung sakit”. Kasus-kasus SBS memang tidak menunjukkan
gejala-gejala yang khas dan secara obyektif tidak dapat diukur. Keluhan dan
tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai
problema pernafasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan
kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung
dengan kualitas ruangan yang buruk.
Penyakit
akibat lingkungan semakin hari semakin menimbulkan problem kesehatan
masyarakat, terutama pada kondisi lingkungan yang di bawah standart (Anies,
2002;Black et al, 1990). Kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta
penggunaan berbagai bahan kimia di dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat
potensial bagi timbulnya SBS (Burge, 1987). Kondisi semakin buruk jika gedung yang
bersangkutan menggunakan air-conditioned
(AC) yang tidak terawat dengan baik (Apter et al, 1994;Mendel,1993). Namun,
disamping karena penyebab yang bersumber pada lingkungan, ternyata
keluhan-keluhan pada SBS juga dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan,
seperti problem pribadi, pekerjaan dan psikologis yang dianggap mempengaruhi
kepekaan seseorang terhadap SBS (Hedge, 1995).
Pada
hakikatnya, SBS merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup penting.
Upaya untuk mengatasi SBS harus selalu dilakukan oleh para pengelola gedung,
hotel, perkantoran maupun perumahan. Upaya ini mestinya dilakukan sejak tahap
perencanaan, konstruksi maupun operasional.
A BIG QUESTION for “ Sick Building Syndrome “ ?
Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh
penghuni gedung atau bangunan yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di
dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang
dapat diidentifikasi. Keluhan-keluhan dapat timbul dari penghuni gedung pada ruang
atau bagian tertentu dari gedung tersebut, meskipun ada kemungkinan menyebar
pada seluruh bagian gedung. Pada hakikatnya SBS merupakan problema kesehatan
masyarakat yang cukup penting (Anies, 2004:51).
Istilah
Sick Building Syndrome pertama kali
dikenalkan oleh para ahli di negara Skandinavia di awal tahun 1980-an, karena
sindrom ini umumnya dijumpai dalam ruangan gedung-gedung pencakar langit (O.
Bruce Dickerson Edward P. Horvath, 1988: 1069). Namun dari penelitian tahun
1978-1988 oleh NIOSH ditemukan pada gedung-gedung biasa dengan karakteristik
kualitas udara yang buruk (NIOSH, 1998).
SBS
menurut Juli Soemirat Slamet yang dikutip oleh G. Sujayanto (2001) adalah
gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan.
Sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau di rumah
yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik.
Gejala Sick Building Syndrome
(SBS)
Banyak
kasus SBS menunjukkan gejala-gejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga
tidak dapat diukur. Sebagian besar penderita adalah para pekerja rutin di
gedung-gedung (WHO, 1983). Meskipun keluhan dan tanda yang dikemukakan oleh
para penderita bersifat kronis dan mencapai 80% dari pekerja dilaporkan
menderita SBS, tetapi seringkali tidak ditemukan polusi yang jelas. Para
penghuni gedung yang tidak sehat ini umumnya mengalami gejala-gejala SBS yang
bervariasi. Gejala-gejala tersebut meliputi sakit kepala, pusing, mual, iritasi
pada mata, hidung maupun tenggorokan yang disertai dengan batuk kering. Gejala khas
pada kulit, berupa kulit kering dan gatal-gatal. Keluhan SBS yang sering
dikemukakan antara lain kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta
sulit berkonsentrasi (Burge et al, 1987).
Gejala-gejala
SBS sering dihubungkan dengan tingkat stress emosional seseorang (Monris dan
Hawkins, 1987). Faktor-faktor pekerjaan seperti jenjang jabatan dalam
pekerjaan, lama menggunakan computer, tekanan pekerjaan maupun kepuasaan kerja
mempunyai andil dalam menimbulkan SBS. Dalam studi terhadap 4500 pekerja kantor
dalam gedung yang ruangannya ber-AC, kualitas udara ruangan yang diterima,
pemakaian computer, tekanan pekerjaan serta jenis kelamin, menunjukkansecara
signifikan pengaruhnya terhadap jumlah gejala SBS yang dikeluhkan oleh para
pekerja (Hedge, 1996).
Gejala
dan keluhan SBS antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi
tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing,
sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau Dengan
gejala yang tidak dikenali dan kebanyakkan keluhan akan hilang setelah
meninggalkan gedung (EPA, 1998).
Tjandra
Yoga Aditama (2002: 95) membagi keluhan atau gejala dalam tujuh kategori sebagi
berikut :
·
Iritasi
selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair
·
Iritasi
hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin,
batuk kering
·
Gangguan
neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit
kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi
·
Gangguan
paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di
dada.
·
Gangguan
kulit, seperti kulit kering, kulit gatal
·
Gangguan
saluran cerna, seperti diare.
·
Gangguan
lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dan lain
sebagainya.
Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Sick Building Syndrome
Faktor-faktor
yang dapat menimbulkan SBS sangat bervariasi. Paling dominan adalah gedung atau
bangunan itu sendiri, di samping polutan-polutan lingkungan yang spesifik.
Namun faktor-faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin wanita,
riwayat alergi, stress emosional yang terkait dengan pekerjaan, memberikan andil bagi timbulnya SBS (Anies, 2004:54).
Fenomena
SBS berkaitan dengan faktor bangunan atau kondisi gedung itu sendiri, terutama
rendahnya kualitas udara ruangan. Menurut Tjandra Yoga Aditama (2002:92),
berbagai bahan pencemar (kontaminan) dapat mengganggu lingkungan udara dalam
gedung (indoor air environment) melalui empat mekanisme utama, yaitu: (1)
gangguan sistem kekebalan tubuh (imunologik); (2) terjadinya infeksi; (3) bahan
pencemar yang bersifat racun (toksik); (4) bahan pencemar yang mengiritasi dan
menimbulkan gangguan kesehatan. Gangguan sistem kekebalan tubuh dipengaruhi
oleh konsumsi zat gizi. Konsumsi zat gizi yang baik akan memperbaiki status
gizi, sehingga meningkatkan ketahanan fisik dan meningkatkan produktivitas
kerja, di samping membantu mengurangi infeksi (Depkes RI, 1990:15). Sedangkan
bahan kimia yang bersifat racun (toksik) lebih banyak diserap oleh usia tua
(Frank C. Lu, 1995: 72). Biasanya sulit untuk menemukan suatu penyebab
tunggal dari SBS.
Secara
umum faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian Sick Building Syndrome karyawan dalam ruangan meliputi :
·
Sistem Ventilasi yang tidak mencukupi.
Standar
ventilasi pada sebuah gedung yaitu kira-kira 15 kaki berbentuk kubus sehingga
udara luar dapat masuk dan menyegarkan penghuni di dalamnya, terutama tidak
semata-mata untuk melemahkan dan memindahkan bau. Dengan ventilasi yang tidak
cukup, maka proses pengaturan suhu tidak secara efektif mendistribusikan udara
pada penghuni ruangan sehingga menjadi faktor pemicu timbulnya Sick Building
Syndrome.
·
Zat pencemar kimia bersumber dari dalam
ruangan.
Polusi
udara dalam ruangan bersumber dari dalam ruangan itu sendiri, sepertibahan
pembersih karpet, mesin foto kopi, tembakau dan termasuk formaldehid.
·
Zat pencemar kimia bersumber dari luar
gedung
Udara
luar yang masuk pada suatu bangunan bisa merupakan suatu sumber polusi udara
dalam gedung, seperti pengotor dari kendaraan bermotor, pipa ledeng, lubang
angin dan semua bentuk partikel baik padat maupun cair yang dapat
masuk melalui lubang angin atau jendela dekat sumber polutan. Bahan-bahan
polutan yang mungkin ada dalam ruangan dapat berupa gas karbon monoksida,
nitrogen dioksida dan berbagai bahan organik lainnya. Karbon monoksida dapat
timbul pada berbagai proses pembakaran, seperti pemanas ruangan. Gas CO juga
dapat masuk ke dalam ruangan melalui asap mobil dan kendaraan lain yang lalu
lalang di luar suatu gedung. Kadar CO yang tinggi akan berakibat buruk pada
jantung dan otak.
·
Zat pencemar biologi
Bakteri,
virus dan jamur adalah jenis pencemar biologi yang berkumpul didalam pipa
saluran udara dan alat pelembab udara serta berasal dari alat pembersih karpet.
Kontaminasi yang berasal dari dalam ruang yaitu
ketika kelembaban antara 25-75% : spora jamur akan meningkat dan terjadi
kemungkinan peningkatan pertumbuhan jamur, dan sumber kelembaban: tendon air,
bak air di toilet. Penyakit yang berhubungan dengan bioaerosol dapat berupa
penyakit infeksi seperti flu,
hipersensitivitas (asma, alergi, dan juga
toxicoses yaitu toksin dalam udara di ruangan yang terkontaminasi)
sebagai penyebab gejala SBS
·
Faktor fisik lingkungan
Temperatur,
kelembaban dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor fisik
pendorong timbulnya SBS. Keluhan tentang temperatur di dalam ruangan terjadi
terutama pada bangunan berpendingin, sedangkan kelembaban merupakan jumlah
embun di udara (London Hazards Centre, 1990). Pada kelembaban tinggi (diatas
60-70%) dan dalam temperatur hangat, keringat hasil badan tidak mampu untuk
menguap sehingga temperatur ruangan dirasakan lebih panas dan akan merasa
lengket. Ketika kelembaban rendah (dibawah 20%), temperatur kering, embun
menguap dengan lebih mudah dari keringat, sehingga selaput lendir dan kulit,
kerongkongan serta hidung menjadi mengering, akibatnya kulit menjadi gatal
serta ditandai dengan sakit kepala, kekakuan dan mata mengering.
·
Faktor Individu (Manusia)
Umur
Karakteristik
pekerja yang berhubungan dengan SBS salah satunya adalah umur. Pemaparan pada
suatu zat yang bersifat toksik akan menimbulkan dampak yang lebih serius pada
mereka yang berusia tua daripada yang berusia lebih muda dengan kata lain udara
yang buruk lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang usia tua (Frank C.Lu, 1995). Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur diatas 40 tahun
berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya
tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan
tubuhnya (Apte et al, 2005).
Jenis Kelamin
Wanita
memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu sebanyak 35% dibandingkan dengan laki-laki (Sundell,
1994). Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal
tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif
kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan
dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu
dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan (Suma’mur PK,
1996)
Masa Kerja
Pekerja
yang masa kerjanya lebih lama berisiko mengalami SBS lebih banyak sebesar 30%
dibandingkan yang masa kerjanya baru sebanyak 17% (Slamet Hartoyo, 2009).
Semakin lama seseorang bekerja semakin berisiko daripada yang lebih sedikit
masa kerjanya.
Upaya Pencegahan
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk
mencegah SBS. Beberapa upaya penting yang dapat dilakukan antara lain (Boxer,
1990; Hedge, 1995; Kriess, 1989; Zweers et al, 1992). Pencegahan SBS harus
dimulai sejak perencanaan sebuah gedung untuk suatu pekerjaan atau kegiatan
tertentu, penggunaan bahan bangunan mulai fondasi bangunan, dinding, lantai,
penyekat ruangan, bahan perekat (lem) dan cat dinding yang dipergunakan, tata
letak peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut.
Perlu
kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan, terutama yang berasal dari hasil
tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar rumah didesain berdinding tipis serta
memiliki system ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas,
partikel dan mikroorganisme di dalam ruangan, dapat dilakukan dengan pemberian
tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara
seringkali menjadi upaya yang sangat efektif untuk mengurangi polusi di dalam
ruangan. Dalam kondisi tertentu, yaitu konsentrasi polutan saangat tinggi,
dapat diupayakan dengan ventilasi pompa keluar.
Bahan-bahan
kimia tertentu yang merupakan polutan, sumbernya dapat berada di dalam ruangan
itu sendiri. Misalnya bahan perekat, bahan pembersih, pestisida dan sebagainya.
Bahan-bahan ini sebaiknya diletakkan di dalam ruangan atau di dalam ruangan
khusus yang berventilasi dan di luar ruang kerja. Karpet, yang dipergunakan
untuk pelapis dinding maupun lantai, secara rutin perlu dibersihkan dengan
penyedot debu dan apabila dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan
pencucian. Demikian pula pembersihan AC secara rutin harus selalu dilakukan.
Tata
letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak yang terkait
dengan jarak pajanan peralatan penghasil radiasi elektromagnetik ini tidak
hanya dipandang dari segi ergonomic, tetapi juga kemungkinan perannya
memberikan andil dalam menimbulkan SBS.
Pendidikan
dan komunikasi merupakan bagian penting dari program pengelolaan kualitas
udara, dalam hal ini terutama kualitas udara di dalam ruangan. Para penghuni
maupun pemelihara gedung harus benar-benar mengerti masalah yang ada dan saling
berkomunikasi, sehingga dapat saling bekerja sama secara efektif untuk mencegah
SBS.
Kebutuhan
para penghuni ruangan untuk merokok tidak dapat dihindari. Perlu disediakan
ruangan tertentu berventilasi cukup, jika tidak memungkinkan untuk meninggalkan
gedung. Hal ini untuk mencegah akumulasi asap rokok yang ternyata mempunyai
andil dalam menimbulkan SBS.
Ada
beberapa jenis tanaman atau pepohonan yang mampu mengurangi polusi di dalam
ruangan karena merupakan penyaring udara paling efisien, antara lain palem
kuning, palem bamboo, palem, finiks, waregu, karet kebo, paku sepat.